Biaya Nikah


By : Ahmadin, S.Ag ( Kepala KUA Kec. Baturiti ).

Setelah lama ditunggu, akhirnya PP Nomor 48 Tahun 2014 diterbitkan pada tanggal 27 Juni 2014. PP ini adalah perubahan atas PP Nomor 47 Tahun 2004 tentang “Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama”.

Terdapat beberapa tujuan kenapa PP Nomor 47 Tahun 2004 ini dirubah oleh PP Nomor 48 Tahun 2014. Di antaranya, adalah: (1) Semangat menjadikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi; (2) Memperjelas keuangan yang dibayarkan masyarakat untuk biaya pernikahan; (3) Mengakomodir kepentingan, kompensasi, dan penghargaan kepada para penghulu yang menghadiri pernikahan di luar kantor atau luar jam kantor.

Tiga faktor tersebut yang tidak diakomodir oleh PP Nomor 47 Tahun 2004 yang akan dicermati di bawah ini:

Besaran Nominal
Perubahan yang ditetapkan di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 di antaranya yaitu adanya multi tarif yang dikenakan kepada masyarakat yang akan menikah. Di dalam PP Nomor 48 Tahun 2014 disebutkan pada pasal 6:
(1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. (2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan; (3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah); (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Ketentuan dalam Lampiran angka II mengenai Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF
(Rp)
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN per peristiwa nikah atau rujuk 600.000,00

Dari perubahan pasal ini dapat diketahui bahwa penerimaan negara dari masyarakat untuk biaya pernikahan berubah, yang tadinya Rp 30.000,- untuk biaya pencatatan nikah dan rujuk menjadi Rp 600.000,- untuk biaya nikah dan rujuk.

Biaya Pencatatan Nikah Vs Biaya Nikah

Perubahan besar ini dapat dimaklumi, karena adanya perubahan penggunaannya.  Perubahan penggunaan ini dapat dilihat dari PMA Nomor 24 Tahun 2014 yang merubah PMA Nomor 71 Tahun 2009. Dari judul PMA itu sendiri sudah dapat diketahui bahwa adanya transformasi (perubahan) dari “biaya pencatatan nikah dan rujuk” menjadi “biaya nikah dan rujuk”.Di dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014 yang baru adalah turunan dari PP Nomor 48 Tahun 2014 dapat diketahui bahwa tidak ada lagi biaya pencatatan pernikahan atau rujuk. Itu tercantum di dalam pasal 6 ayat (1).

Cara Penerimaan

Di dalam PMA Nomor 71 Tahun 2009 BAB II Pasal 1 ayat (1) Catin membayar biaya NR kepada Bendahara penerimaan pada Kandepag melalui Bendahara Pembantu pada KUA.

Di dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014 BAB III Pasal 6 ayat (1) Catin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke renening Bendahara Penerimaan sebesar Rp 600,000,- pada Bank.

Pada ayat (2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, catin menyetorkan biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPS pada KUA Kecamatan.

Jadi jelas, bahwa perubahan juga terjadi pada cara penerimaan PNBP. Yaitu yang tadinya disetorkan/dititipkan melalui Bendahara Pembantu di KUA yang kemudian disetorkan ke Bendahara Penerimaan Kemenag Kabupaten/Kota, dirubah menjadi “disetorkan catin langsung” ke rekening bank atas nama Bendahara Peneriman PNBP Kemenag Pusat.

Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa kata “wajib” di dalam pasal 6 ayat (1), adalah tidak dapat diwakilkan. Sehingga pembayaran PNBP sebesar Rp 600.000,- benar-benar dibayarkan dan terhindar dari penyalah gunaan atau terhindar dari prasangka buruk. Ini adalah upaya transparansi kepada masyarakat.

Penggunaan Biaya NR

Penggunaan biaya NR pada PMA Nomor 71 Tahun 2009 ada pada BAB IV Pasal 5 ayat (2):
a.     Peningkatan SDM dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan NR kepada masyarakat;
b.     Pelayanan dan bimbingan di bidang perkawinan serta penegakan hukum;
c.      Investasi yang berkaitan dengan kegiatan NR;
d.     Pemeliharaan, perbaikan kantor, gedung dan investasi lainnya lainnya ang berkaitan dengan pelayanan NR; dan
e.     Operasional perkantoran dalam rangka meningkatkan pelayanan NR serta transport Penghulu, pegawai dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N);

Ayat (3) Penggunaan PNBP NR dalam kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam RKA-KL dengan porsi sebagai berikut:
a.     Kandepag Kab/Kota sebesar 20% dari Pagu Pengeluaran;
b.     KUA sebesar 80% dari Pagu Pengeluaran.

Sedangkan di dalam PMA Nomor 24 Tahun 2014 penggunaan PNBP itu tercantum di dalam pasal 11 ayat (1) PNBP Biaya NR digunakan untuk membiayai pelayanan pencatatan nikah dan rujuk yang meliputi:
a.     Transport dan jasa profesi penghulu;
b.     Pembantu Pegawai Pencatat Nikah;
c.      Pengelola PNBP Biaya NR;
d.     Kursus pra nikah; dan
e.     Supervisi administrasi nikah dan rujuk.

(2) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
a.    Transport dan jasa profesi penghulu diberikan sesuai dengan Tipologi KUA Kecamatan.
b.    Pembantu Pegawai Pencatat Nikah diberikan biaya pelayanan setiap bulan;
c.    Pengelola PNBP Biaya NR diberikan biaya pengelolaan setiap bulan; dan
d.    Kursus pra nikah, supervise administrasi nikah dan rujuk diberikan biaya setiap kegiatan.

Pasal 12
Besaran transport dan jasa Profesi penghulu, biaya pelayanan pembantu pegawai pencatat nikah, pengelola PNBP biaya NR, Kursus pra nikah, supervisi administrasi nikah dan rujuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Perubahan penggunaan PNBP ini sangat besar. Di antaranya yaitu:
a.  Memperjelas penerimaan transportasi dan jasa profesi penghulu, sebagai bentuk kompensasi dan penghargaan Penghulu yang melaksanakan tugas di luar jam kantor atau di luar kantor.
b.  Memperjelas insentif pelayanan P3N.
c.  Memperjelas penerimaan bagi pengelola dari tingkat pusat sampai tingkat KUA.
-      Pusat: a) Penanggungjawab, b) Ketua dan Wakil ketua, c) Sekretaris dan wakil sekretaris, d) koordinator bidang perencanaan PNBP Biaya NR, e) Koordinator bidang Penerimaan PNBP NR, f) Koordinator bidang penggunaan PNBP NR, g) Pelaksana. (PMA No. 24 Tahun 2014 pasal 3 ayat (2))
-      Pengelola Tingkat Daerah: a) Kabid Urais pada kanwil kemenag sebagai penanggungjawab dan 1 (satu) orang pelaksana administrasi. b) Kasi Urais pada Kemenag Kabupaten/kota sebagai penanggungjawab dan 1 (satu) orang pelaksana administrasi; dan c) Kepala KUA Kecamatan sebagai penanggungjawab dan 1 (satu) orang pelaksana administrasi. (PMA No. 24 Tahun 2014 pasal 3 ayat (4))
d.   Memfungsikan dan menggiatkan kembali Kursus pra nikah.
e.   Adanya kejelasan biaya operasional bagi kegiatan supervisi administarasi NR.

Dalam hal ini, ada perbedaan jelas antara penggunaan di dalam PMA No. 24 Tahun 2014 dan PMA No. 71 Tahun 2009. Di dalam PMA No. 71 Tahun 2009 penggunaannya menggunakan bahasa yang sangat umum dan masih multi tafsir, sehingga penggunaannya sangat fleksibel bahkan kadang menjadi bias. Akan tetapi di dalam PMA No. 24 Tahun 2014 penggunaannya menggunakan bahasa yang sangat jelas dan lugas tanpa multi tafsir, bahwa ada 5 pos penggunaan anggara PNBP, yaitu: Penghulu, P3N, Pengelola PNBP, Kegiatan Kursus Pra Nikah, dan Supervisi Administrasi NR oleh Seksi Bimas Islam Kemenag tingkat Kabupaten/Kota.

Menuju KUA Berintegritas

Di akhir artikel ini, penulis berkesimpulan bahwa di tetapkannya PP No. 48 Tahun 2014 dan PMA No. 24 Tahun 2014 adalah sebuah tonggak sejarah perubahan di dalam lingkungan KUA. Ini adalah sebuah upaya take holder/para pemangku kebijakan untuk merubah stigma negative yang diberikan kepada KUA oleh masyarakat.

Tujuannya adalah ingin menjadikan KUA yang berintegritas dan terbebas dari gratifikasi. Itulah ungkapan Irjen Kemenag M. Jasin ketika PP No. 48 Tahun 2014 ditandatangani oleh Presiden SBY. (detik.com, 7/7/2014)

Penulis sependapat dengan hal tersebut, untuk merubah KUA ke arah yang lebih baik, rupanya harus dimulai dari lingkungan kita sendiri, jalankan segala aturan yang ada secara maksimal dan konsisten. Jadikan KUA adalah tempat pelayanan masyarakat dalam hal keagamaan, di antaranya adalah pernikahan.
Bagaimana bisa merubah KUA ke arah yang lebih baik, jika di dalam pelayanan kita masih mengharapkan keuntungan dari masyarakat dalam bentuk gratifikasi. Apalagi, remunerasi/tunjangan kinerja akan diberikan kepada seluruh pegawai di Kementerian Agama. Jadi tidak ada alasan untuk tidak melayani masyarakat dengan pelayanan yang prima dengan tetap mengemban motto Kemenag “Ikhlas Beramal”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@kuabaturiti